Header Ads

Pernyataan GBI Tanggapi Pernyataan PGI Tentag LGBT



Pdt. Ferry Haurissa mewakili BPH GBI hadir di Kantor PGI, Jl.Salemba Jakarta-Pusat (Jumat siang, 1/7). Ia menyerahkan Surat Tanggapan Pernyataan Pastoral PGI Tentang LGBT kepada Ketua Umum PGI.Selanjutnya surat diteruskan kepada Sekretariat Umum PGI dan diterima Winny Malo.

Redaksi melampirkan salinan surat BPH GBI tersebut dan salinan surat Departemen Teologia BPH GBI "Sikap Gereja Bethel Indonesia Terhadap Isu LGBT (Lesbi,Gay, Bi-Sex, & Transgender) dan Pernikahan Sesama Jenis".

BADAN PEKERJA HARIAN GEREJA BETHEL INDONESIA. Badan Hukum Gereja: SK DICjen Bimas (Kristen) Protestan DepartemenAgama RI No. 41 Th.1972 dan Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama RI No. 211 Tahun 1989 Tgl. 25 Nopember 1989. Alamat Kantor: JI. Jend. A. Yani Kav. 65 Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat 10510. Telp. 021· 42803664, Fax. 021· 42803786. E·mail: bpsgbi@cbn.net.id.

Nomor: 1036/SXV/SUIBPH GBlIVI/16. Perihal: Tanggapan Terhadap Pernyataan Pastoral PGI Tentang LGBT. Lamp. : 1 berkas. Jakarta, 30 Juni 2016. Kepada Yth.Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Graha Oikumene, JI. Salemba Raya No. 10, Jakarta Pusat.

Salam dalam kasih Kristus,Menanggapi Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT tanggal 28 Mei 2016 yang meminta agar gereja-gereja memberikan pokok pikiran sebagai umpan balik kepada MPH- PGI untuk menyempurnakan Sikap dan Pandangan PGI mengenai masalah ini, dengan ini kami memberikan beberapa pandangan: Pertama, Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT ini telah menimbulkan multi tafsir yang akhirnya mengakibatkan keresahan yang dalam di antara para pemimpin gereja dan juga umat, sehingga PGI yang seharusnya menjadi rumah kita bersama yang mempersatukan,justru telah menyebabkan banyak keriuhan dalam pembicaraan dan diskusi secara langsung maupun melalui sosial media.

Kedua, PGI sebagai lembaga persekutuan menurut hemat kami tidak pada tempatnya memberikan arahan dogmatis kepada Sinode gereja anggotanya, seakan-akan seluruh anggota PGI memiliki penafsiran yang sama terhadap masalah LGBT. Padahal tidaklah demikian, misalnya kami GBI telah membuat pemyataan teologis menolak praktik LGBT dan pernikahan sejenis yang telah kami sosialisasikan sejak tahun lalu, dokumennya kami lampirkan bersama dengan surat ini.

Ketiga, PGI sebagai lembaga aras nasional seyogianya bersikap arif sehingga hal sensitif semacam ini harus dibahas secara mendalam dahulu dengan mengundang pimpinan Sinode anggota PGI, sehingga bila ada ketidak sepahaman mengenai pokok ini, itu bisa dibahas dalam forum tersebut dan tidak meluas kepada anggota jemaat.

Sangat disayangkan, pembahasan semacam itu bukan saja tidak ada, bahkan sebelum Sinode gereja anggota PGI menerima surat resmi ternyata ini sudah diunggah ke sosial media (facebook) yang akhimya menimbulkan kehebohan.

Dalam hal ini kami sebagai anggota PGI merasa di fait accomply seakan kami "dijebak" untuk mengikuti standar kebenaran yang dipatok oleh MPH PGI, tanpa ada perundingan sebelumnya.

Keempat, PGI juga harus menimbang situasi politis di Indonesia dalam mengeluarkan suatu pernyataan, agar PGI tidak dianggap pro LGBT dan menyetujui pemikahan sejenis, yang bisa menimbulkan kesalahpaham dari umat beragama lain sehingga dapat menuduh bahwa umat Kristen menyetujui tindakan LGBT dan pernikahan sejenis di Indonesia. Ini dapat menimbulkan gesekan yang tidak kita harapkan.

Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas maka kami mendesak kepada MPH PGI untuk :Pertama, SEGERA MENCABUT pemyataan pastoral tersebut dan menyatakan bahwa pernyataan tersebut baru berupa draft, yang akan dibahas dalam pertemuan selanjutnya yang melibatkan gereja-gereja anggota PGI untuk merumuskannya bersama.

Kedua, jika untuk merumuskan pemyataan pastoral tersebut harus melalui Sidang MPL yang sedianya baru akan dilaksanakan bulan Januari 2017 maka untuk mempercepat penyelesaian masalah ini, kami usulkan agar dilaksanakan Sidang MPL lstimewa sesegera mungkin.

Demikianlah surat kami, agar dapat diresponi secara serius. Kami menunggu langkah konkrit yang akan dilakukan oleh MPH PGI dalam waktu dekat ini. Terima kasih, Tuhan memberkati.

BADAN PEKERJA HARlAN Gereja Bethel Indonesia. Pdt. Dr. Japarlin Marbun – Ketua Umum dan Pdt. Paulus R. Widjaja.

Tembusan:1. Seluruh Sinode Anggota PGI. 2. Seluruh Anggota MPL GBl.3. Seluruh Gembala Jemaat GBI.4. Media-media Kristen.

DEPARTEMEN TEOLOGIA GEREJA BETHEL INDONESIA.Badan Hukum Gereja : SK Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama RI No. 41 Th. 1972 danDirjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama RI No. 211 Tgl. 25 November 1989 ALAMAT KANTOR : JI. Jend Ahmad Yani Kav. 65, Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, 10510. Telp : 021-4265429, 021-42803664, FAX: 021-4265429. Website: www.sinodegbi.org, Email: dtp_bphgbi@yahoo.co.id

SIKAP GEREJA BETHEL INDONESIA. TERHADAP ISU LGBT (LESBI, GAY, BI-SEX & TRANSGENDER) DAN PERNIKAHAN SESAMA JENIS.

I. MUKADIMAH:GBI adalah Gereja yang mengakui bahwa Alkitab sepenuhnya adalah Firman Allah, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang dengan demikian menjadikannya sebagai sumber berteologi dan tuntunan mutlak di dalam pengambilan keputusan etis dan prilaku.

GBI mempercayai bahwa akibat dosa, maka peta dan teladan Allah bagi manusia telah rusak, dan karenanya ia berdosa, mengalami keterbatasan dan sakit penyakit. Untuk itu ia membutuhkan kelahiran baru dengan mengakui dosa-dosanya, bertobat dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

GBI adalah gereja pentakostal/neo-pentekostal yang tradisinya didasarkan kepada keyakinan akan pimpinan Roh Kudus masa kini yang memampukannya memuliakan Allah di dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal memampukan orang percaya menaklukkan keinginan daging (termasuk hasrat sexual di luar konteks pernikahan dan praktek homosexual).

GBI mempercayai akan kuasa darah Yesus yang dapat menyembuhkan dan menyucikan setiap orang percaya yang memiliki pergumulan terhadap masalah fisik, emosi, sosial, dll, namun pada waktu yang bersamaan pula menyakini bahwa rencana dan kedaulatan Allah bagi setiap orang yang memiliki masalah sakit penyakit adalah hal yang Alkitabiah.

GBI meyakini bahwa kemajuan zaman dengan segala persoalannya telah menimbulkan banyak disfungsi pada tatanan penciptaan dan persoalan-persoalan yang tak pernah terpikirkan oleh para penulis Alkitab, namun untuk kasus-kasus seperti transjender, surrogate (pinjam rahim orang lain), bayi tabung, dll, GBI mempercayai bahwa refleksi teologis dapat diusahakan pada prinsip-prinsip normatif akan seksualitas yang diordinasi Allah, dan tradisi kekristenan universal, khususnya di kalangan pentakostal.


II. SIKAP TEOLOGI, PELAYANAN PASTORAL, dan KETERKAITAN DENGAN KE-PEJABAT-AN DI GBI


A. Sikap Teologis. Berdasarkan mukadimah dasar di atas, maka GBI menyatakan sikap teologis yang menolak praktek LGBT dan pernikahan sejenis (same-sex marriage) dengan alasan sebagai berikut:

Bahwa Allah menciptakan laki-Iaki dan perempuan, bukan sekedar sebagai bentuk keragaman ciptaan tetapi merupakan pasangan yang diordinasi untuk maksud pro-kreasi (meneruskan keturunan).

Bahwa Allah menciptakan jenis kelamin dan fungsi seksual masing-masing pada pria dan wanita, untuk maksud yang dirancang Allah sebagai pasangan untuk melakukan persetubuhan di dalam konteks pernikahan.

Maka definisi persetubuhan dalam rancangan Allah adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Di luar ini, Alkitab memandang sebagai kekejian: "Janganlah engkau tidur dengan laki-iok! secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian" (Im18:22).

Bahwa karena dosa, dunia bukan saja menjadi buruk, tetapi hadirnya penyakit dan kerusakan orientasi seksual manusia. Oleh karena itu, ketertarikan seseorang kepada sesama jenisnya adalah akibat dosa dan bukanlah rancangan awal Allah.

Dan dosa ini adalah salah satu yang disebutkan Paulus" ... sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar, demikianlah suomi-suomi meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka ...sehingga melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki ..." (Roma 1:26-27).

GBI juga menolak perkawinan sejenis, karena pembuat hukum perkawinan itu adalah Allah Pencipta, yang harus ditaati oleh manusia ciptaan-Nya. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sebagai laki-laki dan perempuan (Kej. 1:27), ini ditegaskan ulang oleh Vesus ketika berbicara tentang perkawinan (Mat. 19:4-6).

Manusia tidak dapat membatalkan ketetapan Allah itu berdasarkan voting suara terbanyak. Pernikahan Kristen itu bersifat manogami, seumur hidupdan heteroseksual. Dengan demikian hubungan dan perkawinan homoseksual ataupun biseksual ditolak.

Allah-Iah yang mendefinisikan perkawinan yaitu heteroseksual, jauh sebelum Negara ada. Negara bisa saja mengakomodir praktek-praktek hidup dan perkawinan sesuai dengan roh zaman, dan Negara sebagaimana biasanya tidak menaruh perhatian kepada masalah teologis.

Namun, orang Kristen yang mengakui sepenuhnya ordinasi perkawinan heteroseksual, lebih tunduk kepada Allah dan firman-Nya ketimbang kepada hukum dan ketetapan Negara.

Mengendalikan hasrat seksual (baik dalam kasus LGBT maupun non LGBT) adalah bagian dari disiplin rohani, tak terkecuali dalam konteks dimana kaum LGBT "tak tersembuhkan."

Dalam hal ini, sama seperti kita pada umumnya dipanggil untuk menyalibkan segala keinginan daging yang berdosa, maka tak terkecuali kaum LGBT yang "tak tersembuhkan" juga diharapkan dapat mengenakan Kristus dan memohon anugerah Allah untuk memampukannya tidak mempraktekkan perbuatan dosa seksual sesama jenis.

B. Pelayanan Pastoral. Pernyataan teologis GBI dalam implementasi tindakan dan pelayanan pastoral terhadap kaum LGBT adalah sebagai berikut:

Meskipun GBI memandang disorientasi seksual kaum LGBT adalah dosa dan meyakini bahwa kuasa Yesus dan pekerjaan Roh Kudus mampu mentransformasi dosa tersebut (sama juga bagi masalah-masalah seksual lainnya pada kaum heteroseksual), GBI menghimbau dan menyerukan suatu sikap yang penuh empati kepada kaum LGBT.

Sama seperti Yesus yang memiliki sikap yang tidak kompromi terhadap dosa, namun pada waktu yang sama pula, Yesus menaruh keberpihakan pastoral kepada orang-orang yang sakit, dan termarjinalkan. Yesus membenci dosa, namun mengasihi orang berdosa.

Wujud kasih gereja kepada kaum homoseks bukan dengan memandang perilaku itu legal berdasarkan hak azasi manusia, namun justru harus menolong mereka keluar dari perbuatan dosa itu, sesuai I Kor. 6:9-11 " ... banci, orang pemburit ...tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.

Dan beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu. Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita."

Dengan keyakinan bahwa kuasa Yesus dan Roh Kudus mampu memulihkan persoalan manusia (seksual, emosional, fisik, dill, gereja harus tak henti-hentinya memberikan pertolongan pastoral, medis, dan lainnya untuk penderita LGBT. Untuk itu, gereja diharapkan dapat bermitra dengan lembaga-Iembaga yang secara khusus dimaksudkan untuk melayani kaum LGBT.

Gereja bukan hanya mendoakan dan melayani secara konseling dengan sikap yang empati namun menaruh harapan optimis kepada anugerah Allah yang memulihkan.

Gereja diharapkan menjadi tempat yang bersahabat dengan kaum LGBT dan menjadi wadah yang dapat menolong kaum LGBT menemukan tempat positif mereka bertumbuh di dalam pertumbuhan iman.

Karena menurut teori psikologi sosial bahwa prilaku seseorang dapat terbentuk akibat lingkungan (socialleaming theory) dan secara terus menerus terjadi penguatan (re-enforcement). Maka, dengan kegiatan-kegiatan rohani yang khusus bagi kaum LGBT diharapkan ada penguatan nilai-nilai yang baru (rohani).

Gereja seharusnya tak melibatkan kaum LGBT di dalam pelayanan-pelayanan mimbar gerejani seperti pelayanan Firman, pemimpin pujian, singers, dan pelayanan perjamuan kudus, dan pelayanan guru sekolah minggu, dalam kemajelisan, dan lain-Iainnya.

Dalam kasus gereja yang memiliki devisi pelayanan dan ibadah kaum waria, mereka dapat melayani komunitas mereka, dengan asumsi bahwa mereka tidak mempraktekkan perbuatan seksual sesama jenis (hal ini sama diberlakukan bagi kaum heteroseksual yang melakukan praktek seksual di luar pernikahan).

III. Kaum LGBT Dalam Kaitan Dengan KePejabatan di GBI. GBI menolak mentahbiskan kaum LGBT menjadi pejabat di lingkungan Sinode GBI baik sebagai Pdp, Pdm, Pdt.

Demikian keputusan ini dibuat.Dirumuskan di Kantor BPH GBI, Graha Bethel, Jakarta. Tanggal: 30 Juni 2015.Tim Perumus: Pdt. Dr. Japarlin Marbun (Ketum BPH GBI), Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham (Ketua Teologi dan Pendidikan BPH GBI), Pdt. Hengky So, S.Th (Ketua Departemen Teologi GBI), Pdt. Dr. Junifrius Gultom (Sekretaris Departemen Teologi GBI), Pdt. Dr. Jonathan Trisna (Ketua Biro Ajaran GBI).Pdt

Dr. Rubin Adi Abraham-Ketua BPH Bidang Teologia dan Pendidikan. Pdt. Hengky So, MTH-Ketua Departemen Teologia.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.